Esposin, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menyiapkan tambahan likuiditas perbankan dari implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dengan total menjadi Rp280 triliun hingga akhir tahun 2024.
“Secara keseluruhan sampai dengan akhir tahun akan kami naikkan kembali menjadi Rp280 triliun. Dari yang semula sekarang [posisi] Juni Rp255,8 triliun, rencana kami akan naik kembali menjadi Rp280 triliun,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo saat konferensi pers KSSK III 2024 di Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Namun, Perry mengingatkan penambahan insentif likuiditas itu bergantung dengan kinerja penyaluran kredit perbankan. Insentif likuiditas ini diberikan kepada bank-bank yang aktif menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas seperti hilirisasi mineral dan batu bara (minerba), pertanian, perkebunan, pariwisata, perumahan, UMKM, hingga sektor hijau.
Oleh sebab itu, Perry mengatakan bahwa BI terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara keseluruhan.
“Antara BI dengan OJK bagaimana sama-sama mendorong kredit. Pak Ketua DK OJK itu memastikan bank-bank menyalurkan kredit, kami (BI) menambah likuiditas sepanjang penyaluran kredit dan sektor-sektor prioritas. Itu adalah kebijakan makroprudensial,” kata dia.
Pada Maret hingga Juni tahun ini, catat Perry, BI telah menambah insentif likuiditas sebesar Rp91 triliun. Sehingga dari semula Rp165 triliun di posisi bulan Maret 2024 menjadi Rp255,8 triliun di Juni 2024.
Dari penambahan itu, kelompok bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang semula menerima insentif likuiditas sebesar Rp82 triliun di posisi Maret naik menjadi Rp118,4 triliun di posisi Juni, atau naik sebesar Rp36,4 triliun dari bulan Maret ke Juni.
Adapun bank swasta nasional semula menerima insentif likuiditas Rp64,8 triliun di posisi Maret kini menjadi Rp108,9 triliun di posisi Juni, naik sebesar Rp44,1 triliun.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) mendapat kenaikan insentif likuiditas sebesar Rp9 triliun, dari Rp15,9 triliun di posisi Maret menjadi Rp24,9 triliun di posisi Juni. Sedangkan kantor cabang bank asing hanya mendapat kenaikan Rp1,3 triliun, dari Rp2,3 triliun di posisi Maret menjadi Rp3,5 triliun di posisi Juni.
Berdasarkan data OJK, likuiditas perbankan pada Juni 2024 memadai dengan rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) serta alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) masing-masing tercatat sebesar 112,33 persen dan 25,37 persen. Angka tersebut jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Sementara risiko kredit perbankan juga terjaga dengan rasio non-performing loan (NPL) nett dan NPL gross yang tetap rendah di bawah ambang batas, masing-masing berada di level 0,78 persen dan 2,26 persen.
Sebelumnya, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia (BI) Nugroho Joko Prastowo menyatakan kebijakan makroprudensial menjembatani kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial.
“Kebijakan ini baru mulai dikenal dan dikembangkan sebagai pelajaran dari krisis keuangan global pada 2008-2009. Kebijakan ini menjembatani antara makro moneter dan mikro keuangan,” katanya dalam Media Gathering BI Jawa Timur, di Yogyakarta, Sabtu (27/7/2024).
Nugroho menuturkan kebijakan makroprudensial masih tergolong baru di Indonesia dan belum banyak masyarakat yang mengenal dan memahami mengenai kebijakan tersebut.
Ia menjelaskan krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 menjadi salah satu penyebab lahirnya kebijakan makroprudensial di Indonesia.
Dia mengatakan jika krisis-krisis yang terjadi sebelumnya selalu didahului krisis yang sifatnya makro seperti krisis utang, krisis keuangan, dan krisis nilai tukar, maka saat krisis 2008 lebih bersifat mikro ekonomi.
Kondisi tersebut memerlukan suatu kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, karena walaupun indikator makro di level baik namun sistem keuangan sedang tidak sehat.
Sistem keuangan yang tidak sehat ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak, karena bank tidak berkenan memberikan kredit sehingga aktivitas ekonomi terhambat.
“Saat itu kalau bank tidak mau memberikan kredit maka pembiayaan ekonomi terhambat walaupun inflasi dan nilai tukar stabil, tapi institusi keuangan tidak sehat. Otomatis aktivitas ekonomi terhambat. Ini pelajaran krisis keuangan global,” katanya pula.
Menurut Nugroho, krisis tersebut yang pada akhirnya memberi pelajaran bahwa perlu sebuah kebijakan yang mampu menjembatani kebijakan moneter dengan kebijakan mikro yakni melalui kebijakan makroprudensial.
Terdapat tiga pilar pelaksanaan kebijakan makroprudensial, yaitu mendorong fungsi intermediasi seperti pembiayaan kredit, menjaga ketahanan sistem keuangan agar terhindar dari krisis, serta mendorong finansial inklusi dan hijau.
Nugroho menyebutkan salah satu yang paling sering dikeluarkan untuk instrumen kebijakan makroprudensial adalah mengenai down payment (DP) dalam rangka mendorong kredit.
Seperti saat Covid-19, BI mengeluarkan kebijakan makroprudensial, yakni menurunkan batas uang muka (DP) untuk pembiayaan semua kendaraan bermotor baru menjadi nol persen dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif.
Selain itu, BI juga mengubah ketentuan rasio uang muka kredit rumah (Loan to Value/LTV) kredit dan pembiayaan properti dari semula 85 persen sampai 90 persen menjadi 100 persen, sehingga pembelian rumah bebas DP.