Esposin, SOLO -- “Udah gaji di bawah UMK [upah minimum kabupaten/kota], harus bayar iuran kesehatan mandiri untuk orang serumah.”
Begitu curahan hati host live streamer asal Sukoharjo, Badar, 21, saat berbincang dengan Espos, Minggu (4/8/2024). Ia bekerja delapan jam per hari dengan pola tiga kali dua jam siaran langsung dan dua kali istirahat.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Menurutnya pekerjaan tersebut memang tak terlalu berisiko. Jarak dari rumah ke lokasi kerja juga dekat, yakni hanya sekitar empat kilometer. Meski begitu, ia sedih karena tak ada jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan yang didapat.
Padahal, ia bekerja di sebuah perusahaan dengan status badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Ia juga mendaftar bekerja menggunakan ijazah vokasi, bukannya Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Setiap bulan, Badar, hanya menerima gaji Rp1,5 juta. Angka tersebut sangat jauh di bawah UMK Sukoharjo 2024 yang telah ditetapkan Gubernur Jateng yakni sebesar Rp2,2 juta per bulan.
Sebelum digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, biasanya hampir 13% ia langsung bayarkan untuk miuran BPJS Kesehatan dirinya dan kedua orang tua. “BPJS pun hanya berani kelas 3, daripada enggak,” katanya.
Hal serupa dialami karyawan pabrik tekstil di Magelang yang kini tengah mengandung anak kedua, Sakinah, 26. Meski sudah bekerja lebih dari tiga tahun, ia dan keluarga tak mendapat jaminan kesehatan.
Rekan-rekannya kena pemangkasan jam kerja bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sakinah kini mulai was-was jika nantinya juga ikut terkena PHK. “Jaminan belum dapat, fasilitas bus jemputan dihilangkan, jatah makan hilang. Gimana yang kontrak [tenaga kontrak] seperti aku ini?” keluhnya, Minggu.
Apa yang dialami Badar, merupakan contoh fenomena karyawan perusahaan formal dipekerjakan secara informal. Jurnal oleh Astrid Amalia Noeraini dari FE Universitas Padjadjaran berjudul Ekonomi Informal Di Indonesia, Suatu Tinjauan Pustaka, menuliskan walaupun kebanyakan pekerjaan informal muncul pada sektor informal, namun banyak pula pekerja pada perusahaan formal dipekerjakan secara informal.
Pekerja Informal
Porsi pekerja informal di Indonesia memang cukup gemuk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi lapangan kerja informal di Indonesia pada 2023 mencapai 59,11%. Sebanyak 48,66% berada di perkotaan dan 72,63% tersebar di perdesaan. Angka itu tak jauh berbeda dengan 2022 dengan proporsi 59,31%, sebanyak 47,62% di perkotaan dan 73,79% di perdesaan.
Data BPS dari tahun ke tahun tersebut memperlihatkan semakin banyaknya pekerja informal di perkotaan. Padahal pada 2018 lalu, pekerja informal di perkotaan hanya 43,38%. Hal itu mengartikan dari 2018-2023 ada penambahan 5.28% proporsi pekerja informal di perkotaan.
Porsi pekerjaan sektor informal yang besar di Indonesia memang memberikan peluang bagi sebagian besar angkatan kerja di Indonesia. Namun sayangnya, mereka yang bekerja harus dihadapkan pada lemahnya program jaminan sosial
Di sisi lain, penanaman modal asing di Indonesia cukup deras. Pada 2022 saja, nilai modal asing naik US$1,451 miliar dengan penambahan sebanyak 5.410 proyek. Tahun itu menjadi tahun dengan kenaikan tertinggi sepanjang 2018-2023.
Seiring dengan penambahan nilai investasi dan total proyek, jumlah tenaga kerja asing (TKA) juga meningkat. Total TKA di Indonesia pada 2022 bertambah 543.020 orang berdasarkan catatan rencana penggunaan TKA (RPTKA).
Pada Januari-Mei 2023 ada penambahan 61.412 TKA. Angka itu naik pada periode yang sama yakni Januari-Mei 2024 penambahan TKA mencapai 66.303 TKA. Sebaliknya, masih ada tujuh juta lebih pengangguran di Indonesia pada Februari 2024.
Potret banyaknya pekerja informal mengisyaratkan masuknya investasi asing belum berpengaruh pada ketersediaan pekerjaan formal atau pekerjaan di sektor formal bagi tenaga kerja Indonesia. Hal itu disusul keluarnya UU Cipta Kerja yang menyederhanakan penggunaan TKA, sehingga menjadi pesaing para tenaga kerja dalam negeri. Investasi asing yang digadang-gadang mampu memberikan lapangan kerja sah dipertanyakan.
Dalam sebuah siniar bersama Pakar Hukum Feri Amsari 26 Agustus 2024, Ekonom Senior Faisal Basri menyebut hampir tidak ada negara maju yang bisa menjadi maju tanpa lewat industrialisasi. “Keluarlah omnibus law. Investasi yang datang makin tidak berkualitas [eksploitasi sumber daya alam] yang kepemilikannya terkonsentrasi."
Ledakan pertambahan investasi asing dan TKA pada 2022 seolah menunjukkan provinsi dengan nilai investasi asing terbanyak juga memiliki total TKA yang banyak pula. Salah satunya terjadi di Sulawesi Tengah. Berdasarkan data BPS, pada 2022 PMA di provinsi tersebut tertinggi se-Indonesia dengan nilai mencapai US$7,486 miliar. Pada tahun yang sama, provinsi tersebut menampung TKA terbanyak kedua se-Indonesia mencapai 107.665 orang.
Padahal, janji pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen disampaikan Jokowi saat momentum Pilpres 2019. Dengan catatan diikuti perombakan iklim investasi dan peningkatan ekspor. Namun kenyataannya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air berada pada angka kurang lebih 5%.
Di sisi lain, satu dari lima Prioritas Kerja Presiden 2019-2024 yang tersiar pada laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah undang investasi seluas-luasnya untuk membuka lapangan kerja.
Pelemahan Demokrasi Berdampak pada Investasi
"Langkah pertama yang dilakukan bukan benahi lain-lain [evaluasi investasi] itu, tapi hancurkan KPK [komisi pemberantasan korupsi] supaya investasinya aman, investor gak takut lagi dengan KPK."
Begitu kata Ekonom Senior Faisal Basri dalam siniar usai menceritakan bagaimana langkah yang dilakukan pemerintah dalam menarik investasi sebelum 2019. Pada masa itu, pemerintah disebut justru melemahkan demokrasi, padahal kondisi demokrasi berkaitan dengan ketidakpastian investasi.
Hal itu senada dengan skor Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia di hadapan dunia. Bila merujuk pada data Transparency International, sebuah koalisi global yang memimpin aksi global melawan korupsi, skor CPI indonesia sangatlah buruk.
Pada 2014, skor CPI Indonesia 34. Setelah itu skor CPI memang terus naik dengan kenaikan kumulatif mencapai enam poin menjadi 40 pada 2019. Atau pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Sayangnya skor itu berangsur turun hingga kembali menjadi 34 pada 2023.
Hal itu berarti selama rentang sepuluh tahun, sama saja skor CPI Indonesia stagnan di 34 poin. Persepsi korupsi dibawa mundur kembali seperti masa tahun pertama awal kepemimpinan Jokowi.
Penurunan skor tampak jelas saat 2020. Tepat beberapa bulan setelah revisi UU KPK dilakukan berikut peralihan status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) pada 2019. Kala itu gelombang aksi unjuk rasa, serta evaluasi dan masukan berdatangan.
Skor CPI kemudian turun signifikan dari 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Diikuti juga dengan merosotnya peringkat Indonesia dari 85 menjadi 102 dari total 179 peringkat.
Penurunan skor drastis juga terjadi pada 2021 menuju 2022, dari 38 menjadi 34. Hingga 2023, atau setahun jelang pergantian kepemimpinan pucuk pemerintahan RI, skor itu berhenti di angka 34 saja atau peringkat 115 dari 180 peringkat. Sama sekali tidak masuk dalam 50 persen teratas. Bahkan pada 2023, skor CPI Indonesia masih di bawah negara-negara ASEAN. Di antaranya Filipina, India (39 poin), Vietnam (41 poin), dan Timor Leste (43 poin) dan Malaysia (50 poin).
Kondisi tersebut menurut Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia, J Danang Widoyoko, menjadi bukti ketidakefektifan strategi dan program pemberantasan korupsi. Apa yang dituliskan Danang juga berkaitan dengan turunnya CPI pada 2020 terkait revisi UU KPK pada 2019 yang mengubah haluan pemerintah untuk mengurangi penegakan hukum dan menggeser strategi ke pencegahan korupsi.
Indeks Demokrasi
Senada dengan CPI, skor indeks demokrasi Indonesia juga terus merosot. Freedom House mendasarkan penilaian pada skala 0 (paling tidak bebas) hingga 100 (paling bebas). Selama rentang 2019-2024 indeks demokrasi Indonesia turun lima poin dari 62 poin menjadi 57 poin. Penurunan ini menyedihkan sebab pada 2018 menuju 2019, indeks sempat naik delapan poin.
Bila melihat 2020, Fredom House mencatatkan ada beberapa peristiwa utama yang menjadi sorotan pada 2019 dan berpengaruh terhadap indeks kebebasan. Di antaranya unjuk rasa setelah Pilpres dan berujung kekerasan. Setidaknya ada enam orang meninggal dalam bentrokan tersebut. Kedua, aksi unjuk rasa yang digelar kelompok mahasiswa menentang revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta tindakan keras terhadap Papua.
Kondisi demokrasi, persepsi korupsi dan investasi di atas diakui saling berkaitan. Ahli Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto mengatakan demokrasi secara sederhana diukur dari sejauh mana pemerintah melaksanakan azas demokrasi, partisipasi publik dalam pemilihan umum, dan lainnya.
Pertama, artisipasi publik dalam pemilu di Indonesia hanyalah semu, dan hanya diintervensi. Ada juga partisipasi melalui mobilisasi dan bansos dan uang. Kedua, elit politik peserta pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi politik yang Agus sebut berbasis pada uang setengah haram.
"Dari situ jelas ada korelasi antara demokrasi dan korupsi. Kalau suatu negara demokrasi baik, acapkali indeks korupsi rendah. Kalau demokrasinya hanya prosedural, ya indeks korupsi rendah," kata Agus saat dihubungi Espos melalui WhatsApp, Minggu (4/8/2024) pagi.