Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Esposin, SOLO -- "Aku mulai mengatur-atur daun-daun kering dan menyiapkan suatu tempat tidur di lereng bukit kecil yang agak kering. Kubuka bingkisanku dan kukeluarkan selimut itu."
Begitulah salah satu kutipan novel Lapar karya penulis Norwegia peraih Nobel Sastra 1920 Knut Hamsun. Tokoh 'aku' kelelahan setelah berjalan melewati gedung-gedung hingga lewat pukul sepuluh malam. Ia kemudian tidur di bukit kecil, beralaskan lantai, dan berbantal sepatu.
Novel itu menceritakan perjalanan seseorang yang kebingungan saat tak ada tempat tinggal. Induk semangnya menagih uang sewa. Ia berkelana, menumpang tidur, hingga menjual barang-barangnya.
Berharap punya tempat tinggal layak adalah naluri setiap manusia. Di Indonesia, hal itu bahkan diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1. Dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak untuk bertempat tinggal kembali dijelaskan secara lebih lanjut ke dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 40.
Mimpi hidup tenang dengan tempat tinggal layak ini pula yang diidamkan pemuda asal Mojolaban Sukoharjo, Heri, 25, meski masih kontradiktif dengan penghasilannya saat ini. Sehari-hari ia bekerja sebagai staf di sebuah CV penerbitan Kota Solo dengan gaji Upah Minimum Kota (UMK) Rp2,2 juta.
“Paling aku beli rumah kalau gajiku sudah minimal Rp3 juta, baru berani punya angsuran Rp1 juta selama 20 tahun,” katanya sembari berkelakar ketika berbincang dengan Espos di sebuah warung di Jebres, Sabtu (8/6/2024) malam lalu.
Upah bulanan tersebut ia sisihkan 70% atau Rp1,5 juta untuk tabungan, dana darurat, investasi, hunian, menikah, dan lainnya. Ia memang belum punya tabungan rumah secara khusus. Padahal baginya, belum punya rumah sama artinya belum berani menikah.
Tapi apa daya. Jangankan untuk membeli rumah, sisa 30% gajinya atau Rp680.000 bahkan sangat pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari.
Ia kadang kesulitan membatasi pengeluaran Rp35.000/hari untuk kebutuhan bensin, makan dua kali, listrik dan pulsa. Sebab jarak rumah dan tempat kerjanya 12 km.
Padahal ia merasa sudah bergaya hidup prihatin. Tak pernah menongkrong, belanja fesyen, juga tak perlu membayar sewa indekos. “30% gaji itu terlalu sedikit untuk hidup sebulan. Akhirnya kan aku harus ambil yang 70%, susah,” kata dia lagi.
Berbeda dengan Heri, buruh perusahaan di Colomadu, Martha, 22, menabung Rp250.000 per bulan khusus untuk tabungan rumah sejak 1,5 tahun lalu. Gajinya Rp2,28 juta per bulan.
Namun, kemampuan menabung Rp250.000 itu belum setara dengan rata-rata angsuran yang harus dibayarkan oleh debitur kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi.
KPR subsidi merupakan hitungan rumah sederhana dengan bantuan pemerintah yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Angsuran terkecil sekitar Rp900.000 dengan uang muka dan angsuran terkecil, serta tenor tagihan paling lama yakni 20 tahun.
Padahal, berdasarkan teori financial planning, besaran cicilan utang tidak boleh melebihi 30% dari penghasilan. Itu mencakup seluruh jenis utang mulai dari rumah dan lainnya.
Berdasarkan hitungan tersebut, tagihan maksimal utang orang dengan gaji UMK Solo dan Karanganyar sebesar Rp680.721 per bulan. “Kalau sekarang hanya sekadar nabung dulu aja. Kalau ke depan memutuskan buat ambil rumah, biar tidak terlalu berat,” katanya.
Bila gaji yang ia terima masih setara UMK Karanganyar, Martha belum berani menanggung beban angsuran hampir RP1 juta selama 20 tahun itu. Bahkan demi menghemat pengeluaran, ia memilih tinggal menumpang di rumah saudara.
Setidaknya ia menghemat Rp400.000 per bulan sebab harga sewa kos di Solo kian mahal. “Ya paling tidak Rp3 juta atau maksimal Rp4 juta [penghasilan sendiri]. Kalau segini [UMK] belum berani,” pungkasnya.
UMP Jateng
Nestapa, Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah pada tahun ini terendah se-Indonesia dengan besaran Rp1,95 juta per bulan. Padahal pada 2021 silam, Jateng merupakan provinsi terpadat nomor lima di Indonesia. Yang mana tingkat kepadatan penduduk berpengaruh terhadap harga lahan, khususnya di daerah perkotaan.
Berdasarkan data BPS Jateng, UMK Soloraya memang naik 6%-8% per tahun atau naik sekitar Rp347.599 selama lima tahun. Sementara pada situasi darurat seperti pandemi Covid-19 dari 2021 ke 2022, UMK Soloraya hanya naik 0,5%-1%.
Pada 2024, UMK Solo menjadi Rp2,269 juta, Boyolali Rp2,25 juta, Klaten Rp2,24 juta, Sukoharjo Rp2,215 juta, Karanganyar Rp2,28 juta, Sragen Rp2,049 juta dan Wonogiri Rp2,047 juta.
Meski UMK naik, apa yang disampaikan Heri dan Martha sebelumnya menjadi bukti betapa sulitnya mendapatkan rumah sederhana meski dengan cara mengangsur hingga 20 tahun.
Apabila seorang buruh bergaji UMK Soloraya mulai mengangsur pada usia 25 tahun pada 2024 ini, maka angsuran baru rampung pada 2044 nanti.
Begitulah realitanya. Solo kian padat. Lahan kian mahal. Namun, berada pada lingkaran UMP terendah se-Indonesia.
Memiliki luas 46,72 km², Kota Solo menjadi kota dengan kepadatan penduduk 11.277 jiwa/km² pada 2023. Artinya, tiap 1 km² lahan di Kota Solo dihuni oleh 11.000 jiwa. Imbasnya, sulit mencari lahan kosong serta lahan murah di Kota Solo.
Pilihannya yakni mencari hunian di kabupaten lain. Harga rumah subsidi disebut paling masuk akal karena harganya masih relatif murah.
Berdasarkan penelusuran Esposin, harga rumah subsidi yang tersebar di enam kabupaten di wilayah Soloraya berada di kisaran Rp155 juta-Rp166 juta. Berdasarkan informasi yang tertera di laman jual beli properti www.99.co, Sabtu (8/6/2024), rata-rata harga rumah sesuai dengan batas harga rumah umum di Jawa yaitu Rp166 juta.
Informasi yang tertera, sebuah rumah subsidi di Sragen seharga Rp162 juta bertipe 36/60 dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Angsuran mulai Rp855.000 per bulan.
Di Purwosari, Wonogiri, rumah subsidi dengan matrikulasi ruangan yang sama, namun tipe 36/72, listrik 1.300 Watt, dibanderol Rp160 juta dengan angsuran mulai Rp900.000/bulan. Sementara di Jatinom Klaten, rumah subsidi tipe 28/60 dengan matrikulasi ruangan yang sama, dibanderol Rp155 juta dengan angsuran mulai Rp576.000 per bulan.
Harga rumah tersebut dihitung berdasarkan pertimbangan kebutuhan minimal tempat tinggal. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan luas minimal empat orang dewasa adalah 36 m² atau 9 m² per jiwa. Tinggi minimal plafon 2,5 m. Luas itu dihitung berdasarkan kebutuhan udara segar manusia ketika beraktivitas di dalam ruangan.
Rumah Tapak Sederhana
Peneliti Puslitbang Perumahan dan Permukiman Kementerian PUPR, Mahatma Sindu Suryo dalam Jurnal Permukiman Vol. 12 No. 2 November 2017 berjudul Analisa Kebutuhan Luas Minimal pada Rumah Sederhana Tapak di Indonesia, menuliskan luas minimal rumah sederhana adalah 47,56 m² atau 11,89 m²/jiwa. Luas itu dihitung berdasarkan antropometrik dan kenyamanan ruang gerak.
Penelitian ini juga menggunakan SNI 03-1733-2004 sebagai pertimbangan analisis luas minimal rumah tapak sederhana. Hasil analisis konfigurasi ruang menunjukkan rentang luas minimal rumah sederhana antara 32,01 m²-36 m².
Di sisi lain, atas harga jual rumah umum sederhana (rumah subsidi) di Jawa (kecuali Jabodetabek) dan Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Babel, Kepulauan Mentawai) naik hingga Rp26 juta selama lima tahun. Pada 2019 batas harga rumah umum Rp140 juta per unit, pada 2024 harga telah mencapai Rp166 juta per unit.
Pemerintah telah memberikan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang merupakan skema pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi dari pemerintah untuk MBR. FLPP dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
MBR bisa membayarkan uang muka mulai 1% dari harga, meski keputusan akhir berada di tangan bank melalui serangkaian pertimbangan. Jangka waktu KPR FLPP hingga 20 tahun (240 bulan).
Lewat skema FLPP, MBR mendapat suku bunga 5% per tahun bersifat tetap dan mendapat subsidi bantuan uang muka sebesar Rp4 juta untuk rumah tapak.
Harga jual rumah subsidi sesuai dengan ketetapan pemerintah. Calon debitur KPR FLPP memiliki penghasilan tetap atau tidak tetap maksimal Rp8 juta per bulan.
Seperempat Gaji untuk Makan
Sementara itu, berdasarkan analisis yang dilakukan Espos, mayoritas warga di Jawa Tengah habiskan lebih dari seperempat gaji mereka untuk makan. Perhitungan tersebut didasarkan pada data rata-rata pengeluaran per kapita per bulan 2023 oleh Badan Pusat Statistik(BPS) Jawa Tengah. Dengan asumsi pendapatan setara Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2023 masing-masing.
Terhitung ada 25 dari 35 kota/kabupaten di Jateng yang mempunyai rata-rata pengeluaran jenis makanan per kapita per bulannya lebih dari 25% UMK. Dengan kata lain, apabila ada seseorang bergaji setara UMK di 25 kabupaten/kota tersebut, ia akan menghabiskan lebih dari seperempat gajinya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut.
Seluruh kabupaten/kota di Jateng kecuali Karanganyar, Klaten, Demak, Boyolali, Purbalingga, Kendal, Cilacap, Purworejo, Magelang dan Kota Semarang, rata-rata pengeluaran makanan per kapita per bulannya di atas 30% dari gaji UMK setempat.
Kota dengan pengeluaran untuk makan tertinggi adalah Kota Tegal, Kota Salatiga, dan Kota Solo. Kota Tegal dengan UMK Rp2,145 juta pengeluaran makanan per kapita sebesar 38,58% atau Rp827.635/bulan. Kota Salatiga dengan UMK Rp2,145 juta, rata-rata pengeluaran makanan per kapita sebesar Rp827.635/bulan atau 38,58% dari gaji UMK.
Kota Solo dengan UMK Rp2,174 juta mengeluarkan 33,90% atau Rp737.025/bulan untuk makan. Dengan estimasi 30 hari per bulan, maka orang Solo butuh Rp24.568 /hari untuk makan.
Kota Semarang dengan UMK tertinggi di Jateng yakni Rp3,060 juta/bulan, menjadi kota dengan persentase pengeluaran makan per kapita paling rendah yakni 23,04% dari UMK per bulan. Atau sekitar Rp705.048/bulan.