bisnis
Langganan

Pemerintah Sebut Deflasi 3 Bulan Berturut-turut Masih Aman - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Newswire  - Espos.id Bisnis  -  Senin, 12 Agustus 2024 - 05:48 WIB

ESPOS.ID - Inflasi. (Freepik)

Esposin, JAKARTA — Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut deflasi di Indonesia selama 3 bulan berturut-turut masih dalam kategori aman dan sesuai sasaran Pemerintah.

Menurut Ferry, deflasi tersebut utamanya disebabkan harga pangan bergejolak atau volatile food yang turun minus 1,92 persen secara bulanan (mtm) dan tercatat sebesar 3,63 persen secara tahunan (yoy).

Advertisement

“Jadi apa yang terjadi sekarang itu masih sesuai dengan yang kita rencanakan. Kami targetkan inflasi sampai 2,5 plus minus 1 persen. Kita hanya mengharapkan volatile food maksimal 5 persen. Kalau sudah terlalu tinggi tidak bagus buat konsumen, kalau terlalu rendah produksinya malah kena. Akhirnya kita jaga maksimal 5 persen. Ini so far dari 10 persen di bulan Maret, sekarang sekitar 3 (persen), jadi mudah-mudahan kita terus jaga,” kata Ferry di Jakarta, Minggu (11/8/2024) seperti dilansir Antaranews.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulan Juli 2024 lebih dalam sebesar minus 0,18 persen (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat minus 0,08 persen (mtm). Sedangkan secara tahunan tercatat inflasi 2,13 persen (yoy).

Kendati demikian, Ferry mengatakan hingga kuartal II tahun ini secara umum tingkat inflasi Indonesia masih dalam rentang sasaran, namun perlu untuk terus dijaga. Pasalnya, apabila tingkat inflasi terlalu tinggi maka akan berimbas ke konsumen, namun jika terlalu rendah juga akan berdampak terhadap produsen.

Advertisement

Untuk tahun ini, Pemerintah menargetkan inflasi Indonesia sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen.

“Nah inflasi itu masih masuk dari target sasaran inflasi, sekarang itu 2,5 (persen) tapi karena ada komponen volatile food itu kita kita tolerir plus minus 1 persen. Jadi kalau masih dalam renge tersebut, artinya dari sisi konsumen produsen itu masih sama-sama menguntungkan. Jadi kalau sudah di luar target itu mungkin bisa ditanya ke kami. Tapi kalau masih dalam sasaran target itu bisa menjaga keseimbangan antara produsen dan konsumen.

Sebelumnya, Ekonom Senior the Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menilai, deflasi bulan Juli 2024 perlu dicermati dengan baik.

Advertisement

"Perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini harus dicermati dengan baik. Tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan rangkaian pengelolaan ekonomi yang tidak memadai. Deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas," kata Didik di Jakarta, Jumat (2/8/2024).

Di samping penurunan harga akibat deflasi, justru Didik menilai deflasi bulan ini sebagai fenomena makroekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya.

Ia mengatakan, deflasi Juli 2024 dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika tidak diimbangi dengan kebijakan makro dan riil yang tepat. Sebab, deflasi bulan ini mencerminkan adanya penurunan pengeluaran konsumsi masyarakat.

“Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan pengeluaran konsumsi. Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur,” ujar Didik.

Prediksi Pertumbuhan Ekonomi

Sebelumnya, ekonom memprediksi terdapat potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester kedua tahun ini, mengingat faktor high base effect tak begitu signifikan di paruh kedua tahun ini jika dibandingkan dengan paruh pertama 2024.

“Di semester I, pendorongnya ada Pemilu, faktor musiman dari Lebaran dan mudik, serta hari libur terkait dengan hari raya keagamaan. Sementara di semester II, kami melihat bahwa sekalipun memang ada dampak dari Pilkada, namun kontribusinya terhadap perekonomian nasional relatif lebih terbatas dibandingkan dampak dari Pileg dan Pilpres,” kata Chief Economist Permata Bank Josua Pardede dalam "PIER Economic Review: Mid-Year 2024" secara virtual di Jakarta, Kamis (8/8/2024) seperti dilansir Antaranews.

Permata Institute for Economic Research (PIER) memproyeksikan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal III 2024 dan 5,00 persen pada kuartal IV 2024. Secara full year, PIER memperkirakan ekonomi tumbuh 5,04 persen di tahun 2024.

Adapun outlook dari lembaga-lembaga internasional, catat Josua, pertumbuhan ekonomi cenderung diproyeksikan membaik pada tahun depan dengan catatan harus ada pemulihan ataupun perbaikan dari sisi konsumsi rumah tangga.

Lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), serta Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5 persen hingga 5,2 persen di tahun 2025.

Pada Senin (5/8/2024), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,05 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal II 2024. Sebelumnya pada kuartal I 2024, ekonomi tumbuh solid di angka 5,11 persen.

Head of Macroeconomics & Financial Market Research PermataBank Faisal Rachman memandang, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup resilien. Secara struktur, mayoritas pertumbuhan ekonomi ditopang oleh komponen konsumsi rumah tangga dengan kontribusi lebih dari 50 persen.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2024 cenderung stabil jika dibandingkan kuartal I 2024. Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93 persen pada kuartal kedua dari 4,91 persen pada kuartal pertama.

“Apa yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi rumah tangga Indonesia terjaga adalah jika daya belinya memang terjaga. Memang kalau kita lihat, ini juga tidak terlepas dengan faktor inflasi. Karena tren inflasi kita dari kuartal pertama ke kuartal kedua itu cenderung menurun, terutama dari sisi pangan, sehingga memang sedikit memberikan angin segar bagi konsumsi rumah tangga di Indonesia,” jelas Faisal.

Namun jika dibandingkan dengan sebelum masa pandemi Covid-19, Faisal mengamini bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih di bawah 5 persen. Setelah pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga mulai menunjukkan pemulihan meski belum sepenuhnya pulih di mana pada tahun 2022 terjadi penyesuaian harga BBM sehingga konsumsi rumah tangga terganggu.

“Ketika memasuki 2023 di semester kedua, itu memang juga ada faktor El Nino yang kena juga hit di harga pangan. Jadi memang sebenarnya kalau kita bandingkan dari pandemi sampai sekarang, sebenarnya sudah ada perbaikan di household consumption terkait dengan food beverage. Tetapi memang kita bisa bilang belum pulih juga ke level yang sebelum pre-pandemi karena memang beberapa kali kena hit sebelum pulih,” jelas Faisal.

Advertisement
Anik Sulistyawati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif