bisnis
Langganan

Tolak PP 51/2023, Serikat Pekerja Usulkan UMK Solo 2024 Naik hingga 20% - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Galih Aprilia Wibowo  - Espos.id Bisnis  -  Senin, 20 November 2023 - 16:31 WIB

ESPOS.ID - Ilustrasi upah pekerja. (Freepik)

Esposin, SOLO - Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) '92, Endang Setiowati, menolak penggunaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51/2023 sebagai pedoman kenaikan besaran upah minimum provinsi (UMP) ataupun upah minimum kota/kabupaten (UMK) 2024.

Endang menyebut pihaknya menolak semua aturan turunan dari Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Ciptaker). Menurut Endang, rumusan penghitungan upah dengan aturan tersebut sebenarnya jauh dari kata layak. Selain itu, ia menyebut, aturan ini tidak relevan untuk dijadikan acuan pemberian upah untuk pekerja.

Advertisement

"Memang kalau kita kembali ke belakang itu ada namanya PP No. 78/2015 tentang Pengupahan. Di situ kita lebih pada mengakomodasi bahwa di Dewan Pengupahan itu harusnya punya data sendiri bukan data yang rumusannya diambil dari Badan Pusat Statistik [BPS]," terang Endang saat dihubungi Esposin, pada Senin (20/11/2023).

Lebih lanjut Endang menjelaskan penghitungan upah diambil nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi berasal dari data BPS, kemudian ditambahkan nilai alpha. "Nilai alpha sendiri bagi buruh adalah rumusan hebat tetapi tidak mengakomodasi. Di situ memang dijelaskan bahwa rumusan nilai alpha itu kembali lagi datanya ke BPS. Ada tingkat pengangguran terbuka [TPT], median upahnya berdasarkan produktivitas pekerja. Kami sendiri masih data yang disajikan bukan data yang sesuai dengan harapan buruh," tambah dia.

Advertisement

Lebih lanjut Endang menjelaskan penghitungan upah diambil nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi berasal dari data BPS, kemudian ditambahkan nilai alpha. "Nilai alpha sendiri bagi buruh adalah rumusan hebat tetapi tidak mengakomodasi. Di situ memang dijelaskan bahwa rumusan nilai alpha itu kembali lagi datanya ke BPS. Ada tingkat pengangguran terbuka [TPT], median upahnya berdasarkan produktivitas pekerja. Kami sendiri masih data yang disajikan bukan data yang sesuai dengan harapan buruh," tambah dia.

Ia menguraikan nilai alpha juga dibatasi dengan nilai 0,1; 0,2 dan 0,3 yang menurut Endang nilainya jauh dari kehidupan hidup layak (KHL). Endang menjelaskan ketika mengggunakan PP Nomor 78/2018, menurutnya perumusan upah lebih transparan. Namun ketika menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023, Endang menilai buruh lebih bisa menyuarakan aspirasi namun tuntutannya juga tidak terserap.

"Ini yang dijadikan patokan pemerinah, kalau sudah ada penyerapan aspirasi, tapi di situ kami pertanyakan juga yang sepakat serikat mana?," ujarnya.

Advertisement

Terpisah Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Sri Saptono Basuki, menjelaskan konsep PP No. 51/2023 sudah jelas. "Menurut saya, kita harus punya standar baku yang tercermin dalam pengupahan. Sekarang PP 51, konsepnya sudah jelas, validitas data jelas. Kalau memang dianggap tidak sesuai, silakan ambil langkah hukum. Karena produk itu produk berkekuatan hukum. Mari kita mulai mempersiapkan diri ke arah sana," terang Basuki.

Basuki juga menguraikan banyak industri dan perusahaan yang terseok-seok, bahkan kolaps dan tutup. "Kami belum baik. Dulu kami sangat kecewa dengan tata cara pemerintah dalam memutuskan, kami ikuti mekanisme peradilan hukum yang berjalan meski nyatanya juga tidak seperti yang diharapkan. Ketetapan dan kepastian  harus mulai dibangun. Agar kami semakin kompetitif dan berdaya saing," ujarnya.

Lebih lanjut Basuki menjelaskan di Solo tidak banyak industri, namun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan industri kecil menengah (IKM) yang mendominasi. Ia menyebut pertumbuhan ekonomi Solo yang tinggi disebabkan masuknya investasi yang masuk atau bubble. Serta banyaknya pameran dan kegitan di Solo.

Advertisement

Ia menjelaskan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) karena kontraksi ekonomi global yang terdampak tidak hanya di Soloraya, namun terjadi juga di Jawa Barat. "UMK itu adalah safety net, untuk pekerja dengan masa kerja di bawah 12 bulan. Kalau minimumnya sudah sedemikian tinggi, terus gimana?" tambah dia.

Advertisement
Muh Khodiq Duhri - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif