by Bayu Jatmiko Adi Brand Content - Espos.id Bisnis - Jumat, 1 September 2023 - 09:17 WIB
Esposin, SOLO — Pengidap gangguan kesehatan mental di Indonesia sebagai dampak pandemi Covid-19 diperkirakan mencapai lebih dari 50 juta jiwa pada 2022.
Kurangnya kesadaran masyarakat terkait ketercukupan vitamin D dan kualitas makanan menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu penting melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan kondisinya.
Hal tersebut disampaikan dalam acara Prodia Meet The Press 2023, Kamis (31/8/2023), dengan tema “Mengenal & Menjaga Kesehatan Mental Pasca Pandemi”. Hadir sebagai narasumber adalah Business & Marketing Director Prodia, Indriyanti Rafi Sukmawati dan Head of Business - Clinics Prodia, Nelly Sari.
Berdasarkan World Mental Health Report 2022 (WHO), pengidap gangguan kesehatan mental di dunia meningkat saat pandemi Covid-19 melanda. Gangguan kesehatan mental yang meningkat signifikan adalah depresi mayor dan gangguan kecemasan.
Berdasarkan World Mental Health Report 2022 (WHO), pengidap gangguan kesehatan mental di dunia meningkat saat pandemi Covid-19 melanda. Gangguan kesehatan mental yang meningkat signifikan adalah depresi mayor dan gangguan kecemasan.
Diperkirakan jumlahnya mencapai 246 juta jiwa di seluruh dunia untuk depresi mayor, dan 374 juta jiwa untuk gangguan kecemasan. Gangguan depresi mayor memiliki persentase kenaikan sebesar 28%, sedangkan untuk gangguan kecemasan ada kenaikan sekitar 26%.
Disebutkan bahwa rata-rata gangguan kesehatan mental tersebut menimpa masyarakat kelompok usia remaja dan dewasa produktif usia 12- 49 tahun. Hal ini diakibatkan oleh penutupan sekolah dan tempat umum, gelombang besar PHK, pembatasan jarak fisik dan sosial, isolasi ketat, kecemasan terpapar virus Covid-19 dan sebagainya.
Selain itu di Indonesia, diperkirakan 1 dari 5 orang mengidap gangguan kesehatan mental yang diakibatkan oleh efek benturan dan dampak pandemi Covid-19. Mengacu dari jumlah populasi berdasarkan data yang dihimpun BPS tahun 2022, maka estimasi pengidap gangguan kesehatan mental di Indonesia setara dengan lebih dari 50 juta jiwa.
Di sisi lain, kualitas kesehatan mental tersebut juga berkaitan dengan gaya hidup individu pasca pandemi. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait hal itu.
Pertama, pascapandemi, kesadaran masyarakat terhadap kecukupan vitamin D secara signifikan berkurang. Sementara vitamin D tidak hanya diperlukan pada masa pandemi untuk meningkatkan kekebalan tubuh dalam menangkal infeksi virus. Banyak tidak disadari bahwa vitamin D juga berperan dalam menjaga kualitas kesehatan mental.
Mengutip dari www.ncbi.nlm.nih.gov, ada studi kedokteran menunjukkan bahwa vitamin D memiliki peran dalam pengaturan hormon serotonin dan melatonin. Serotonin adalah hormon yang berperan penting dalam memperbaiki suasana hati atau mood.
Seseorang yang kekurangan hormon serotonin dapat menjadikan suasana hatinya menjadi buruk. Sedangkan melatonin adalah hormon yang berperan mengatur pola tidur.
Kurangnya vitamin D dalam tubuh akan menyebabkan kedua hormon tersebut tidak bekerja secara optimal. Dampaknya akan mempengaruhi mood dan kualitas tidur seseorang, di mana kedua aspek itu sangat berhubungan dengan kesehatan mental. Kedua, pascapandemi orang kurang memperhatikan kualitas makanan dan serat.
Konsumsi buah dan sayur menjadi tidak lagi sebanyak saat pandemi, ketika semua orang berlomba meningkatkan kesehatan dengan mengkonsumsi banyak buah dan sayur serta makanan bergizi agar tubuh kuat sehingga terbebas dari serangan virus. Berubahnya pola makan akan mempengaruhi pola microbiota dalam usus.
Perubahan ini berhubungan dengan kesehatan termasuk kesehatan mental. Beberapa zat yang diproduksi oleh microbiota baik seperti short chain fatty acid (SCFA) memiliki peran dalam menjaga kesehatan mental.
Melalui jalur neuro-immune, SCFA dapat mempengaruhi fungsi dan juga bentuk sel dalam sistem saraf. SCFA mampu merangsang produksi serotonin dan hormon lain yang secara langsung mempengaruhi sistem saraf vagus, yang menghubungkan otak dan pencernaan.
Itu sebabnya penting untuk melakukan tes laboratorium di panel kesehatan mental. Masalahnya, banyak pasien dengan masalah gangguan kesehatan mental tidak melakukan pemeriksaan laboratorium karena hal itu dianggap tidak biasa.
“Keadaan psikiatri saat ini pada dasarnya adalah sekelompok dokter yang membuat diagnosis berdasarkan gejala tanpa benar-benar melakukan pengujian untuk menentukan akar penyebabnya. Padahal, hal ini dapat diperiksa dan dianalisa dari sample darah pasien untuk dapat mendeteksi dengan jelas adanya gangguan kesehatan mental,” kata Indriyanti dalam kesempatan tersebut.
Beberapa tes darah tersebut menyoroti akar penyebab sebenarnya dari gangguan mental. Serta akan memberi informasi berguna untuk ditindaklanjuti. Berikut sejumlah pemeriksaan terkait yang bisa dilakukan:
“Seluruh pemeriksaan ini dapat juga diperiksa dan tersedia di laboratorium klinik Prodia,” kata Nelly.