Esposin, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat peningkatan signifikan dalam penarikan pinjaman buy now, pay later (BNPL) yang ditawarkan oleh perbankan, meskipun porsinya masih relatif kecil.
Hingga Juli 2024, porsi paylater di sektor perbankan tercatat sebesar 0,24%, dengan pertumbuhan yang kuat di tengah meningkatnya minat masyarakat.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan baki debet kredit BNPL mengalami kenaikan sebesar 36,66% secara tahunan (yoy) menjadi Rp18,01 triliun.
"Total jumlah rekening meningkat menjadi 17,90 juta, naik dari 17,48 juta pada Juni 2024," ujar Dian dalam keterangan resmi, akhir pekan lalu Jumat (6/8/2024) seperti dilansir Bisnis.com.
Tingkat risiko kredit BNPL yang ditawarkan perbankan juga menunjukkan perbaikan. Tingkat kredit bermasalah turun menjadi 2,24% pada Juli 2024, dari 2,5% di bulan sebelumnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai pertumbuhan bisnis paylater di sektor perbankan didorong oleh basis konsumen bank yang lebih besar dibandingkan dengan nasabah multifinance atau pinjaman online. "Sebagian besar nasabah bank sudah adaptif dengan teknologi, sehingga penetrasi pasar paylater oleh bank lebih mudah dilakukan," ujar Nailul.
Dia juga mencatat bank memiliki keunggulan dalam hal data pengukuran kredit yang lebih luas dan akurat, memberikan keuntungan bagi perbankan dalam persaingan di pasar BNPL.
Namun, ia mengatakan sebagian besar pengguna paylater bank berasal dari nasabah perbankan itu sendiri, sementara segmen unbanked dan underbanked lebih banyak digarap oleh multifinance dan pinjaman online. Ke depannya, persaingan dalam bisnis paylater kemungkinan akan terjadi di dalam ekosistem perbankan itu sendiri.
"Tenant yang menerima layanan paylater dan integrasi layanan digital akan menjadi faktor penentu dalam persaingan tersebut," tambah Nailul.
Saat ini, setelah bank-bank besar seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) merilis produk paylater sejak akhir 2023, bank kelas menengah seperti CIMB Niaga, BTN, dan BSI juga mulai terjun ke bisnis paylater perbankan, menciptakan persaingan baru di pasar ini.
Kredit Macet
Di sisi lain, Generasi Z dan milenial berkontribusi sebesar 37,17 persen pada kredit macet atau tingkat wanprestasi (TWP) 90 Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online sepanjang Juli 2024."Dari data yang ada pada kami di Juli 2024, porsi wanprestasi 90 hari atau TPW 90 untuk gen Z dan milenial ini yang kami kategorikan di usia 19 sampai 34 tahun itu adalah 37,17 persen," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agusman di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Agusman dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK Bulanan Agustus 2024 menuturkan tingkat risiko kredit macet secara agregat atau TWP 90 pada P2P lending, dalam kondisi terjaga di posisi 2,53 persen pada Juli 2024. Angka itu menurun dibandingkan Juni 2024 yang sebesar 2,79 persen.
Sedangkan outstanding pembiayaan di ?industri fintech peer to peer lending pada Juli 2024 terus meningkat menjadi 23,97 persen yoy, dengan nominal sejumlah Rp69,39 triliun.
Agusman mengungkapkan untuk memitigasi risiko kredit macet oleh masyarakat termasuk generasi Z dan milenial, penyelenggara peer to peer lending telah diminta untuk membuat pernyataan peringatan kepada konsumen pada laman utama website maupun aplikasinya.
Kalimat peringatan tersebut berbunyi: "Hati-hati, transaksi ini berisiko tinggi. Anda dapat saja mengalami kerugian atau kehilangan uang. Jangan berutang jika tidak memiliki kemampuan membayar. Pertimbangkan secara bijak sebelum bertransaksi.
“Mudah-mudahan pendekatan ini akan membantu untuk menyeleksi gen Z dan milenial dan siapapun juga yang ingin bertransaksi di peer to peer lending untuk lebih sadar dari awal risiko yang akan dihadapi,” ujar Agusman seperti dilansir Antara.
OJK telah menerbitkan aturan mengenai fintech P2P lending yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/22) dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (SEOJK 19/2023).
Aturan tersebut beberapa hal antara lain analisis pendanaan atau proses uji kelayakan pengajuan pinjaman dengan memperhatikan kemampuan keuangan yang dimiliki oleh penerima dana.
Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan dalam memfasilitasi pendanaan.
Manfaat ekonomi yang dikenakan oleh penyelenggara adalah tingkat imbal hasil, termasuk bunga/margin/bagi hasil; biaya administrasi/biaya komisi/fee platform/ujrah yang setara dengan biaya dimaksud; dan biaya lainnya, selain denda keterlambatan, bea meterai dan pajak.