by Galih Aprilia Wibowo - Espos.id Bisnis - Kamis, 1 Agustus 2024 - 16:58 WIB
Esposin, SOLO -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Kota Solo mengalami empat kali deflasi secara month to month (mtm) atau bulanan sepanjang 2024. Tercatat pada Januari 2024 lalu, tingkat deflasi di Solo secara mtm sebesar 0,10%.
Deflasi kembali terjadi sepanjang Mei 2024 hingga Juli 2024. Pada Mei 2024, Solo mengalami deflasi sebesar 0,34%, pada bulan berikutnya sebesar 0,19%. Terbaru, pada Juli 2024, BPS mencatat Solo mengalami deflasi sebesar 0,06%.
"Kondisi Juli 2024 terhadap Juni 2024 atau bulan lalu terjadi deflasi sebesar 0,06%. Kemudian kami catat untuk kondisi Juli 2024 secara year on year [yoy] pada posisi 2,10%. Ini menjadi gambaran bahwa pengendalian inflasi di Kota Solo benar-benar dikerjakan. Sehingga angka inflasi terkendali 2,5% plus minus 1%," terang Kepala BPS Kota Solo, Ratna Setyowati, dalam rilis berita resmi statistik, di Aula Kantor BPS Kota Solo, Kamis (1/8/2024).
Melihat angka inflasi secara yoy ini, Ratna berharap angka inflasi bisa terkontrol hingga akhir tahun. Ihwal terjadinya deflasi selama tiga bulan terakhir ini, menurutnya, ada beberapa kelompok penyumbang deflasi terbesar.
Melihat angka inflasi secara yoy ini, Ratna berharap angka inflasi bisa terkontrol hingga akhir tahun. Ihwal terjadinya deflasi selama tiga bulan terakhir ini, menurutnya, ada beberapa kelompok penyumbang deflasi terbesar.
Lima komoditas penyumbang deflasi terbesar meliputi bawang merah (-0,10%), cabai merah (-0,08%), beras (-0,03%), tomat (-0,02%), dan sawi putih (-0,01%). Untuk penyumbang inflasi berasal dari komoditas cabai rawit (0,11%), taman kanak-kanak (0,04%), sekolah dasar (0,02%), mobil (0,02%), dan emas perhiasan (0,01%).
"Yang menjadi catatan kami, beberapa komoditas seperti cabai, beras, daging ayam yang secara siklus kebutuhan pola konsumsi. Ayam dan telur menjadi komoditas yang banyak dikonsumsi dan akan menjadi perhatian pada Agustus 2024. Harapannya dua komoditas ini, telur dan daging bisa terkontrol," ujarnya.
Namun, menurutnya, perlu dikaji lebih lanjut apakah penurunan konsumsi ini juga termasuk pada kualitas bahan makanan. Jika memang ternyata, maka bisa disebut sebagai pelemahan daya beli yang cukup signifikan. Dia menilai fenomena deflasi yang terjadi ini bisa dilihat dari gejala dan penyebannya.
Meskipun dari sisi pertumbuhan ekonomi stabil di angka 5%, tetapi menurutnya kualitas pertumbuhan ekonomi makin menurun.
"Ini ditandai dari sisi jumlah orang yang bekerja. Pemerintah bisa beragumen bahwa angka pengangguran tetap di sekitar 4%-5%, tetapi kualitas pekerjaannya makin turun. Itu bisa dilihat dari persentase jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor formal yang tidak pernah berubah di kisaran 40%," ungkap Anton.
Sementara, lanjut dia, masih ada sebanyak 60% tenaga kerja yang bekerja di sektor informal. Anton menguraikan ketika orang yang bekerja di sektor formal, tentu bergaji di atas upah minimum regional (UMR), mereka juga mendapat tunjangan kesehatan, keluarga, dan lain-lain.
Sedangkan saat ini pekerja didominasi dari sektor informal, misalnya pedagang kaki lima (PKL) atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan semua pekerja yang dibayar di bawah UMR.
"Saya khawatirnya, kalau makin banyak pekerja di sektor informal, meskipun mereka bekerja. Makan tiga kali sehari, konsumsi mereka juga masih bisa berbelanja dan wisata atau hiburan. Tetapi ini rentan, kalau ada guncangan ekonomi, pekerja di sektor informal itu gampang sekali untuk kemudian turun kualitas hidupnya," paparnya.
Sebelumnya, Dewan Pembina Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Jawa Tengah (Jateng), Liliek Setiawan menilai deflasi menjadi sinyal penurunan daya beli masyarakat.
Pihaknya mencatat saat ini tingkat belanja masyarakat di ritel modern mengalami penurunan sebanyak 11% secara nasional. Menurut Liliek banyak masyarakat yang mulai beralih dari berbelanja di minimarket atau ritel modern ke pasar tradisional maupun toko kelontong.
Dia pun menyoroti beberapa merek ritel seperti Matahari ataupun Ramayana yang mulai meredup. Liliek menegaskan permasalahan ini dipicu karena daya beli konsumen.
Mayoritas market mereka adalah kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah. Kelompok ini rata-rata bekerja di industri manufaktur, salah satunya tekstil.